Selasa, 26 Februari 2013

Cerita Kolaborasi "Mendung"

Kolaborasi hari pertama dengan Gladish Rindra.........
.
“Adakah mendung yang tak mengisyaratkan kepedihan? Adakah kepergian yang tidak diiringi tangisan?”
Aku mencuri lihat atasanku di ruangannya dari kubikel milikku. Kendati kelambu kremnya sedikit manangkup, aku masih mampu mengamati geriknya. dia menyesap espresso buatanku lamat-lamat. komputer di mejanya tak terjamah. alih-alih mengerjakan sesuatu, yang dia lakukan hanyalah memandang dinding kaca yang menghadap luar gedung.
Mendung. Dia selalu melakukannya kala awan keabuan itu berarak. Apa yang meresahkannya, aku tak mengerti. Wanita itu seakan berselaput kapsul tak kasat mata.
Tanpa aku duga dia melihat ke arahku. Tapi,sepertinya dia tidak menyadari kalau aku sedang memeperhatikannya. Ah,untung saja, batinku. Sepertinya dia memang tidak melihatku.
Aku kembali mengamati nya. Tanpa sadar aku pun ikut terbawa suasana. Suasana khayalannya mungkin. Atau memang aku sama seperti dia,merasakan apa yang dia rasakan. Tapi,aku kan tidak tahu apa yang sedang dia fikirkan. Ah, aku ini. Selalu saja begitu. Selalu merasa sama dengan apa yang orang fikirkan,bukan berarti aku menyamakan tentang kehidupanku dengan dia.
Coba pikir, dia tidak mungkin memandang lain karena dompet yang hanya terisi lembar ungu dua lembar kan? Setelan resminya saja adalah produk mendatang dari Balmain. Mungkinkah makanan sekedarnya yang harus dilesapkan ke perutnya hingga akhir bulan? Jelas, makin tidak mungkin. Makan malam saja barang pasti sudah di restoran bintang lima. Aku sih, cukuplah dengan kaki lima. Atau pekerjaan? Yeah, mungkin. Menjadi salah satu komisaris di perusahan internasional dalam usia 25 tahun, siapa yang tidak depresi? Jika aku mungkin sudah dilarikan ke rumah sakit jiwa sejak minggu pertama kerja.
Ini rahasiaku. Aku selalu betah menelisiknya setiap waktu. Parasnya ayu dan mungil. kulitnya bak susu, lembut tak bercela. tubuhnya, meski tak cukup semampai, namun sudah berhasil membuat apa yang dikenakannya terasa begitu apik. Pembawaannye tegas, tapi lembut. Wanita itu… nyaris sempurna. Lalu siapalah aku? Itik buruk rupa yang merindukan seekor ratu angsa.
Sempurna sekali dirinya, wanita yang memang dapat memikat banyak pria. Dan sang angsa putih seperti dia pasti tak pernah merasakan penolakan dari banyak pria. dan seorang pria inilah contohnya. Aah… aku adalah seorang pria yang tak sepadan dengan wanita ini.
Kring~!
Telepon kantor berdering. Jam makan siang. Kala aku mengangkat teleponnya, seketika itu juga aku dihempas kenyataan. Tunangan sang bos.
Aiihh… Nick, wake up! Ya iyalah, dia sudah bertunangan. Kamu ini terlalu banyak mengkhayal.
“Miss Vic?” panggilku, mengintip dari pintu yang kugerek kecil. Wanita itu selalu minta dipanggil Miss, terbiasa dengan hidupnya di London, katanya.
Dia berpaling, melihatku dengan satu alis yang mendaki. “Ya, Nick?”
“Tunangan anda menunggu di lobi. Ingin makan siang, katanya. Humm… katanya ponsel anda tidak aktif,” jelasku.
“Marcus? Bilang saja saya sibuk. Tidak bisa menemuinya. Kalau ada karangan bunga, buang saja.” balasnya tak acuh.
Aku mengernyit heran. Kenapa harus dibuang? Apakah mereka bertengkar? Aku tahu mereka dijodohkan, tapi sepertinya mereka baik-baik saja dengan persetujuan itu. Lagipula Marcus juga lelaki sempurna yang sepadan.
Aku benar benar bingung. Apa yang mesti aku lakukan pada saat-saat seperti ini. Apa aku mesti ada di pihak bos ku, tapi hatiku berkata lain. Aku sungguh kasihan pada pria itu.haduuh kenapa akumesti ada di posisi yang membingungkan seperti ini. Andai aku adalah angsa putih itu, aku tak akan menolak pria seperti dia. Ahh… Aku benar benar bingung di buatnya. Pikiranku benar benar kacau saat ini.
“Ya tuhan, tolong aku…” batinku. Ah, kenapa Tuhan tidak menukar posisiku saja. Benar-benar pikiran ku sedang kacau, kenapa aku bisa-bisanya berfikir seperti itu.
Ya sudahlah. Mungkin sudah nasib pria itu yang tidak beruntung.
Pertanyaan-pertanyaan seputar Victoria, atasanku, dan tunangannya masih berkelebat. Dan mengganggu, sungguh. Maksudku, bahkan pria sekelas Marcus saja ditolaknya, bagaimana aku?
Namun rupanya pertanyaanku terjawab kala sore menjelang. Kala semua pekerja memilih lekas pulang, dan tinggallah aku dan wanita itu di ruangan yang sama. Dia masih memandang dinding Mendung makin menggantung, siap jatuh. Aku terkelu di balik meja, menunggu instruksi.
“Nick,” panggilnya. “Adakah mendung yang tak mengisyaratkan kepedihan? Adakah kepergian yang tidak diiringi tangisan?”
“Maksud, Miss?”
Dia terdiam, tapi tatapannya seakan menginginkanku memberikan jawaban yang memang dia tunggu.
Ini pertama kalinya aku menatap dia dengan rona-rona kebingungan di wajahku dan wajahnya. Aku mencoba mengalihkan pandangan, tapi ternyata hatiku merasa ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Aku ingin menjawab pertanyaan itu.
Dia mendadak berucap, “Sudahlah Nick, lupakan…” Lantas beranjak pergi.
Entah kenapa tanganku sepertinya ingin menghalanginya dan menariknya. Wanita itu terperanjat, menatap tanganku yang mencengkeram pergelangannya. Kontan saja aku melepaskannya cepat-cepat. “Maaf, Miss. Maaf. Saya lancang. Tapi mengapa Miss bertanya seperti itu?”
Victoria kembali ke kursinya menghela nafas dalam-dalam. “Aku kehilangan banyak hal di hari seperti ini. Ibuku meninggal, kamu tahu, di sore seperti ini. Pun juga kekasihku di London. Semuanya direnggut saat langit menggelap. Mungkin mereka tak suka aku bahagia. Ya, mungkin.” Dia berdiri, membelakangiku.
Aku tercenung. Aku hanya tahu bila ibunya meninggal. Tapi tidak dengan kekasihnya. Tidak dengan alasan-alasan di baliknya.
“Saya sudah konfirmasi bagian HRD, mulai besok kamu akan dipindahkan di departemen lain.”
Aku terkejut bukan main. “Kenapa, Miss? Apa ada yang salah dengan pekerjaan saya?”
Pikiranku kalut, bingung. Memangnya aku begitu lamban mengerjakan kertas-kertas yang ditumpuknya di mejaku? Atau sikapku yang tidak menyenangkan? Kalau aku tidak di sini, bagaimana caraku bisa melihatnya? Aku tidak menginginkanny jadi milikku. Melihatnya saja, sungguh, sudah sangat cukup.
Mendadak dia memelukku. Entah mengapa sepertinya dia aku tak berani membalas pelukannya, dan aku pun juga tak berani melepaskan pelukannya.
“Aku minta maaf, Nick,” ucapnya. Ucapannya sungguh sungguh membuat aku tidak mengerti.
Aku ingin bicara jujur dari hatiku,tapi sepertinya bibir ini benar-benar sudah terkunci. Namun gejolak di dalam hatiku sepertinya melawan ini. Aku mencoba untuk mengatur kata perkata agar tak salah. Kali ini sepertinya aku tak perlu menggunakan logika lagi seperti saat aku harus mengerjakan pekerjaan kantor yg memuakkan. “Aku menyukai kamu,” ucapku.
Yang terjadi kemudian adalah realita dari yang aku takuti. Wajahnya mendadak berubah seketika. “Bohong, Nick, Kamu pasti bohong!” ucapnya dan kembali beranjak pergi.
“Miss, aku mohon jangan pergi.” aku menahannya. Aku menciumnya. Melumatnya dalam-dalam. Perasaanku yang selama ini hanya aku lesakkan, aku ingin dia merasakannya. Mengerti. Aku tidak berharap dia mmbalasnya. Mungkin sedikit, tapi aku tak berani berekspektasi. Hari ini, atau aku tidak akan pernah menemukan kesempatan ini sekali lagi. Ketika aku membuka mataku, aku masih melihat Victoria dalam keadaan syok.
“Maaf, aku pikir perasaan kita  sama,” ujarku pelan, mengangkat tanganku menutupi bibir. Aduh, aku bodoh sekali. Apa yang aku pikirkan?! Bodoh. “Maaf, aku sungguh lancang, ya?”
Victoria tetap mematung, tak berekspresi.
Sudahlah, Nick. Menyerahlah. Berada di sini hanya akan membuatmu makin kehilangan muka, pun membuat keadaan semakin menyedihkan. Aku beringsut mundur, “Baiklah. Aku harus mengemasi barangku. Maaf se—”
“Tunggu,” potongnya. Aku berbalik menatapnya sekali lagi. Dia menggigit bibir bawahnya, “Aku juga mencintaimu.”
Hatiku membuncah. Benarkah apa yang aku dengar? Seorang Victoria, Oh God! Senyumku memancing senyumnya. Ini bukan senyum yang biasa mengembang di bibirnya. Bukan senyum formalitas untuk berbasa-basi. Senyum indah dengan sepasang mata yang berkilau. Senyum yang hanya melihatnya saja, sudah membuat dunia terasa melebihi surga.
“Kenapa?” tanyanya, melihatku terdiam.
“Aa— ah, tidak. Aku hanya tak menyangka.” Jawabku,masih terpaku pada bibirnya.
Dia tergelak. Tawanya renyah, merdu. Dua matanya membentuk croissant. Pipinya merona merah. Dia benar-benar membawaku menuju langit keseribu. Terlampau melambung tinggi, melayang.
“Tawamu cantik sekali,” ucapku tanpa sadar.
“Apa?”
Aku menggeleng lekas-lekas. Lantas menggenggam tangannya, “Tidak apa-apa. Kamu hanya begitu sempurna.”
Dia tersenyum malu-malu. Semburat di pipinya semakin memerah.
“Ah, ya. Aku ingin menjawab pertanyaanmu tadi. Ada. Ada mendung yang tidak diiringi kesedihan. Ketika kamu ada di rengkuhanku saat ini. Bukankah cukup membuktikan, tawamu sore ini memecahkan teori yang kamu usung dari dulu?” Aku mencium punggung tangannya. “I love you.”
Victoria tersenyum. Rona merahnya bercahaya, sama seperti hatinya yang berbunga.
I know. Me too.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar