Sabtu, 30 Maret 2013

Duhai urusan perasaan. Ketika seseorang berhenti menangis karenanya, maka beberapa saat kemudian, tentu saja airmatanya akan kering di pipi, isaknya akan hilang disenyap, seperti tidak ada lagi sisa tangisnya di wajah. Tetapi tangisan itu tetap tertinggal di hati. Kesedihan, rasa sakit, kesendirian, beban yang membekas.

Boleh jadi sebentar, boleh jadi selamanya.

Bukankah demikian?

—Tere Liye

“Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu”

—Tere Liye, novel ‘Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah’.

Satu hal yang harus selalu dicatat: tidak ada yang bisa dilupakan, meskipun itu kita tidak ingat lagi. Karena boleh jadi, di sisi2 lain, hal tersebut tetap diingat hingga kapanpun.

Jika kita tidak bisa memahaminya dari sisi yang tidak ingat lagi, maka cobalah dari sisi yang hingga kapanpun tetap mengingatnya. Dengan demikian, semoga kita selalu bisa menghormati perasaan-perasaan yang sempat bersinggungan dengan hidup kita.

“Ada banyak cara menikmati sepotong kehidupan saat kalian sedang tertikam belati sedih. Salah-satunya dengan menerjemahkan banyak hal yang menghiasi dunia dengan cara tak lazim. Saat melihat gumpalan awan di angkasa. Saat menyimak wajah-wajah lelah pulang kerja. Saat menyimak tampias air yang membuat bekas di langit-langit kamar. Dengan pemahaman secara berbeda maka kalian akan merasakan sesuatu yang berbeda pula. Memberikan kebahagiaan yang utuh – yang jarang disadari – atas makna detik demi detik kehidupan.”

—Tere Liye, novel ‘Sunset Bersama Rosie’

Kita tidak menanamkan kebencian, kita menanamkan keyakinan. Yakin pasti menang.

Kita tidak menanamkan rasa marah, kita menanamkan keteguhan. Yang menelan kemarahan musuh sebesar apapun.

Kita tidak menyebarkan kata2 kotor dan atau tindakan kotor. Kita menegakkan kehormatan. Yang dengannya musuh sekalipun menghormati kita.

“Dalam urusan perasaan dan duniawi lainnya, kita tidak akan pernah mengerti hakikat memiliki, jika kita terlalu ingin memilikinya. Justeru kita akan mengerti hakikatnya saat kita melepaskannya.

Gigit pemahaman ini baik-baik.”

—Tere Liye, separuh quote dari novel ‘Sunset Bersama Rosie’

Urusan perasaan itu ibarat jalan raya panjang berkilo-kilometer. Semua orang melewatinya, dan punya jalannya masing2.

Maka, kita semua, melewatinya dengan kekhasan masing-masing. Berkelok-kelok, naik turun, pemandangan indah, pemandangan menyedihkan, hujan deras, cerah sentosa, ban kempes, mogok, dan semua yang ada di sepanjang perjalanan.

Nah, agama, nilai2 di sekitar kita, memberikan rambu-rambu sepanjang perjalanan tersebut. Kalau kalian mau selamat dan berbahagia sampai di ujungnya, patuhi rambu2 tersebut. Jangan ngebut, jangan grasa-grusu, dan jangan nekad keluar jalur, agar tidak menyesal di kemudian hari.

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.

—Tere Liye, novel ‘Daun yang jatuh tak pernah membenci angin’

Jodoh itu rahasia Tuhan.

Yang namanya rahasia, kita mampu merobohkan gunung sekalipun, mengeringkan lautan, kalau tidak berjodoh, tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya, mau benci setinggi bulan, mau menghindar ke ujung dunia, kalau memang berjodoh, tetap akan terjadi, ada saja jalannya.

Banyak sekali yg paham dan manggut-manggut membaca kalimat ini. Sayangnya, lebih banyak yg cuma manggut-manggut doang, di dunia nyata tetaaap saja galau, memaksakan cerita, tidak sabaran dan sekian banyak kelakuan lainnya. Kenapa nggak ditunggu saja sih? Sambil terus belajar banyak hal.

By bida-dari-hati.tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar